ASG
Ajaran Sosial Gereja
1. Arti dan Makna Ajaran Sosial Gereja
Ajaran sosial gereja adalah gereja mengenai hak dan kewajiban berbagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan kebaikan bersama dalam lingkup nasional maupun internasional.
Ajaran sosial Gereja merupakan tanggapan Gereja terhadap fenomena atau persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia dalam bentuk himbauan, kritik dan dukungan. Ajaran sosial Gereja bersifat lunak, bila dibandingkan dengan ajaran Gereja dalam arti ketat, yaitu dogma. Dengan kata lain, ajaran sosial Gereja merupakan bentuk keprihatinan Gereja terhadapa dunia dan umat manusia dalam wujud dokumen yang perlu disosialisasikan.
Karena masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia beragama bervariasi, dan ini dipengaruhi oleh semangat dan kebutuhan zaman, maka tanggapan Gereja juga bervariasi sesuai dengan isu sosial yang muncul.
2. Ensiklik-Ensiklik dan Dokumen Konsili Vatikan II Memuat Ajaran Sosial Gereja Sepanjang Masa
a. Ajaran Sosial gereja dari Rerum Novarum sampai dengan Konsili Vatikan II. Ajaran sosial Gereja dalam dunia modern berawal dari tahun 1981, ketika Paus Leo XIII mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum. Dalam ensiklik itu Paus dengan tegas menentang kondisi-kondisi yang tidak manusiawi yang menjadi situasi buruk bagi kaum buruh dalam masyarakat industri. Paus mengatakan 3 faktor kunci yang mendasari kehidupan ekonomi, yaitu buruh, modal, dan Negara. Paus juga menunjukkan bahwa saling hubungan yang wajar dan adil antara tiga hal itu menjadi masalah pokok ajaran sosial Gereja. Pada tahun 1931, pada peringatan Ke-40 tahun Rerum Novarum, Paus Pius XI menulis ensiklik Quadragesimo Anno. Dalam ensiklik itu, Paus Pius XI masalah-masalah ketidakadilan sosial dan mengajak semua pihak untuk mengatur kembali tatanan sosial berdasarkan apa yang telah ditunjukkan oleh Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum.
Paus Pius XI menegaskan kembali hak dan kewajiban Gereja dalam menanggapi masalah-masalah sosial, mengamcam kapitalisme dan persaingan bebas serta komunisme yang menganjurkan pertentangan kelas dan pendewaan kepemimpinan kediktatoran kelas buruh. Paus menegaskan perlunya tanggungjawab sosial dari milik pribadi dan hak-hak kaum buruh atas kerja, upah yang adil, serta berserikat guna melindungi hak-hak mereka.
Tiga puluh tahun kemudian, Paus Yohanes XXVIII menulis dua ensiklik untuk menanggapi masalah-masalah pokok zamannya, yaitu Mater et Magistra (1961) dan Pacem in Terris (1963). Dalam dua ensiklik ini, Paus Yohanes XXVIII menyampaikan sejumlah petunjuk bagi umat Kristiani dan para pengambil kebijakan dalam menanggapi kesenjangan di antara bangsa-bangsa yang kaya dan miskin, dan ancaman terhadap perdamaian dunia. Paus mengajak orang-orang Kristiani dan “semua orang yang berkehendak baik” bekerja sama menciptakan lembaga-lemabaga sosial (local, nasional, ataupun internasional), sekaligus menghargai martabat manusia dan menegakkan keadilan serta perdamaian.
b. Ajaran sosial Gereja sesudah Konsili Vatikan II
Ketika Paus Yohanes XXVIII mengadakan Konsili Vatikan II dalam bulan oktober 1962, dia membuka jendela Gereja agar masuk udara segar dunia modern. Konsili ekumenis yang ke-21 inilah yang pertama kali merefleksikan Gereja yang sungguh-sungguh mendunia. Selama tiga tahun, para cardinal dan para uskup dari berbagai penjuru dunia dan hampir semua bangsa berkumpul untuk mendiskusikan hakikat Gereja dalam dunia modern ini termuat dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan). Dalam Gaudium et spes ini, para bapa konsili meneguhkan bahwa perutusan khas religius Gereja memberinya tugas, terang dan kekuatan yang dapat membantu pembentukan dan pemantapan masyarakat manusia menurut hukum Ilahi. Keadaan, waktu, dan tempat menuntut agar Gereja dan bahkan memulai kegiatan sosial demi semua orang.
Sejak Konsili Vatikan II, pernyataan-pernyataan Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II, sinode para uskup dan konperensi-konperensi para uskup regional maupun nasional semakin mempertajam perenan Gereja dalam tanggung jawab terhadap dunia yang sedang berubah dengan pesat ini. Kedua Paus dan para uskup itu sepenuhnya sadar bahwa mencari kehendak Allah dalam arus sejarah dunia bukanlah tugas yang sederhana. Mereka juga menyadari bahwa Gereja tidak mempunyai pemecahan yang langsung dan secara universal dapat memecahkan masalah-masalah masyarakat yang kompleks dan semakin mendesak.
Ada tiga dokumen yang secara khusus memberi sumbangan Gereja mengenai tanggung jawab itu :
Dalam Dokumen Populorum Progresssio (1967), Paus Paulus VI menanggapi jeritan kemiskinan dan kelaparan dunia, menunjukkan adanya ketidakadilan structural. Ia menghimbau Negara-negara kaya maupun miskin agar bekerja sama dalam semangat solidaritas untuk membangun “tata keadilan dan membaharui tata dunia”.
Dokumen kedua berupa surat apostolic Octogesima Adveniens yang ditulis oleh Paus Paulus VI tahun 1971 untuk merayakan 80 tahun dokumen Rerum Novarum. Dalam surat ini ditengahkan bahwa kesulitan menciptakan tatanan baru melekat dalam proses pembangunan tatanan itu sendiri. Paus Paulus VI sekaligus menegaskan peranan jemaat-jemaat Kristiani dalam mengemban tanggung jawab baru ini.
Pada tahun itu juga, para uskup dari seluruh dunia berkumpul dalam sinode dan menyiapkan pernyataan keadilan didalam dunia. Dalam dokumen ketiga yang membeberkan pengaruh Gereja yang mendunia, para uskup mengidentifikasikan dinamika Injil dengan harapan-harapan manusia akan dunia yang lebih baik. Para uskup mendesak agar keadilan diusahakan di berbagai lapisan masyarakat, terutama di antara bangsa-bangsa kaya dan kuat, serta bangsa-bangsa yang miskin dan lemah.
Dalam tahun 1981, Paus Yohanes Paulus II, mengeluarkan ensiklik yang berjudul Laborem Excercens. Ensiklik ini membahas makna kerja manusia. Manusia dengan bekerja mengembangkan karya Allah dan memberi sumbangan bagi terwujudnya rencana penyelamatan Allah dalam sejarah. Tenaga kerja harus lebih diutamakan daripada modal dan teknologi.
Dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987), Paus Yohanes Paulus II mengangkat kembali tentang pembangunan yang mengeksploitasi orang-orang kecil. Beliau berbicara tentang struktur-struktur dosa yang membelenggu masyarakat.
Dalam ensiklik Centesimus Annus (1991), Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa Gereja hendaknya terus belajar untuk bergumul dengan soal-soal sosial.
Komentar
Posting Komentar