Membangun masyrakat yang dikehendaki Tuhan



MEMBANGUN MASYARAKAT YANG DIKEHENDAKI TUHAN

Pengantar :
Ketika para Bapak Bangsa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, cita-cita mereka adalah Indonesia nan jaya, adil, makmur, dan damai sejahtera bagi seluruh rakyatnya, seperti yang mereka tandaskan dalam dasar negara Pancasila, khususnya dalam sila kelima, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Berbagai kekuatan sosial politik telah muncul dan tenggelam, kepemimpinan negeri ini pun tampil silih berganti. Berbagai kebijakan sistim politik dan ekonomi telah dicoba, namun cita-cita damai sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia belum kunjung tiba. Bahkan akhir-akhir ini kondisi kemasyarakatan bangsa ini tampak sedang sakit, perpolitikan semakin kacau dan perekonomian semakin sulit.
Dalam penjelasan ini, kita hanya akan membatasi diri pada kesadaran situasi politik dan ekonomi ditanah air.
a.      Situasi Politik
Selama puluhan tahun dibawah pemerintahan Orde Baru, kita dikuasai oleh pemerintah yang sangat korup, kolusif, dan nepotis. Pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang serakah dan otoriter. Untuk mempertahankan supaya bisa menikmati kekuasaan dan kekayaan alam Indonesia, pemerintah Orde Baru menciptakan doktrin-doktrin yang melestarikan kekuasaannya yang monolitik dan membuat ABRI menjadi alat penguasa.
         Pancasila dikeramatkan, tidak boleh ditafsirkan sembarang orang, termasuk para pakar. Yang bisa menafsirkan pancasila hanya penguasa.
         Doktrin seperti “ wawasan nusantara” , “ persatuan dan kesatuan” , dan “stabilitas”, adalah doktrin-doktrin monolitik, yang menekan kebhinekaan aspirasi dan pandangan.
Sekarang kita sudah memasuki zaman reformasi. Namun, yang diharapkan pada awal Orde Reformasi ternyata tidak terpenuhi, meskipun harus diakui bahwa ada beberapa perubahan. Ada kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan berserikat. Akan tetapi, banyak masalah justru menjadi semakin parah. Salah satu yang sangat mencolok adalah hilangnya citarasa dan perilaku politik yang benar dan baik.
Politik merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Tugas dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip-prinsip, sikap-sikap hormat, serta setia pada etika dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, dalam banyak bidang prinsip-prinsip etika itu tampaknya makin diabaikan, bahkan ditinggalkan oleh banyak orang, termasuk oleh para politis, pelaku bisnis, dan pihak-pihak yang mempunyai sumberdaya lagi berpengaruh di negeri ini.
Dewasa ini, politik hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dari pada yang sedang berlangsung sekarang, tampak bahwa politik menjadi ajang pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk memenangkan kepentingan ekonomi atau kepentingan finansial pribadi dan kelompok. Terkesan tidak ada upaya serius untuk mewujudkan kesejahtrraan bersama. Bukan kepentingan bangsa yang diutamakan, melainkan kepentingan kelompok, dengan mengabaikan sering digunakan untuk kepentingan kelompok politik. Simbol-simbol agama sering dijadikan lambang politik kelompok tertentu dan dengan demikian membangun sekat-sekat antara penganut agama, yang kadang kala melahirkan berbagai bentuk kekerasan yang berbau SARA.
Politik kekuasaan yang mementingkan kelompok sendiri semacam itu dengan sendirinya akan mengorbankan tujuan utama, yakni kesejahteraan bersama yang mengandaikan kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum juga diabaikan. Akibatnya, fenomena KKN (Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme ) tidak ditangani secara serius, bahkan makin merajalela diberbagai wilayah, lebih-lebih sejak pelaksanaan program otonomi daerah. Otonomi daerah yang sebenarnya dimaksudkan sebagai desentralisasi kekuasaan, kejayaan, fasilitas, dan pelayanan ternyata menjadi desentralisasi KKN.
b. Situasi Ekonomi
Secara ekonomis, negeri kita praktis dikuasai oleh segelintir orang yang kaya raya, yang memiliki perusahaan-perusahaan multinasional dengan modal dan kekayaan yang sangat besar.
Selanjutnya, tatanan ekonomi yang berjalan di Indonesia mendorong kolusi kepentingan antara para pemilik modal dan pejabat, untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok bersama dengan para politisi yang mempunyai kepentingan, untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara yang mudah. Akibatnya, antara lain terjadi penggusuran tempat-tempat tinggal rakyat untuk berbagai mega proyek dan eksploitasi alam demi kepentingan para pengusaha kaya.
Uang telah merusk segal-galanya. Peraturan perundng-undangan dan aparat penegak hukumdengan mudah ditaklukkan oleh mereka yang mempunyai sumber daya keuangan. Akibatnya, upaya untuk menegakkan tatanan hukum yang adil dan pemerintah yang bersih tak terwujud. Ketidakadilan semakin dirasakan kelompok-kelompok yang secara struktural sudah dalam posisi lemah, seperti perempuan, anak-anak, orang tua, orang cacat, dan kaum miskin.
           Persaingan antar kelompok dan antar pribadi menjadi semakin tajam. Suasana persaingan itu menumbuhkan perasaan tidak adil, terutama ketika berhadapan dengan pengelompokan kelas ekonomi antara yang kaya dan miskin. Perasaan diperlakukan tidak adil itu menyuburkan sikap tertutup dan perasaan tidak aman bagi setiap orang. Orang lain atau kelompok lain akan dianggap sebagai ancaman yang akan mencelakakan diri atau kelompoknya. Perasaan terancam ini diperparah dengan sistem ekonomi yang menciptakan kerentanan dalam lapangan kerja.
 Kinerja ekonomi selalu menuntut pembaruan. Pembaruan terus menerus menuntut orang untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru yang tidak selalu mengungkapkan nilai-nilai keadilan. Mereka yang tidak memenuhi tuntutan struktur ekonomi baru akan terlempar dari pekerjaan karena tidak mampu memenuhi standar baru tersebut. Angka pengangguran semakin tinggi karena rendahnya investasi disektor ekonomi riil yang mengakibatkan tidak tercapainya lapangan kerja. Pengangguran tidak hanya mengakibatkan tak terpenuhinya kebutuhan ekonomi, melainkan juga memukul harga, yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi.
2. Akar Masalah
Salah satu yang terdalam ialah kurangnya iman yang menjadi sumber inspirasi kehidupan nyata. Penghayatan iman masih lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, seperti simbol-simbol dan upacara keagamaan. Dengan demikian kehidupan politik di Indonesia kurang tersentuh oleh iman itu. Salah satu akibatnya ialah lemahnya pelaksanaan etika politik, yang hanya diucapkan dibibir, tetapi tidak dilaksanakan secara konkret. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari makna dan nilai atau sebagai suatu cara sebagai pencapaian kesejahteraan bersama, melainkan lebih sebagai kesempatan untuk menguntungkan diri sendiri serta kelompoknya.
Akar masalah yang lain adalah kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan yang menjadi bagian dari pendorong politik kepentingan yang sangat membatasi ruang publik, yakni ruang kebebasan politik dan ruang peran serta warga negara sebagai subyek. Ruang publik disamakan dengan pasar. Yang dianggap paling penting adalah kekuatan uang dan hasil ekonomi. Manusia hanya diperalat sehingga cenderung diterapkan diskriminasi, dan kemajemukan pun diabaikan. Dengan kata lain, manusia hanya dihargai dari manfaat ekonominya. Maka, dengan mudah mereka yang lemah, yang miskin, dan yang kumuh dianggap tidak berguna dan tidak mendapat tempat. Tekanan pada nilai kegunaan ini tidak hanya bertentangan dengan martabat manusia melainkan juga mengikis solidaritas. Yang berbeda – entah berbeda agama, suku, atau perbedaan yang lain – dianggap menjadi halangan bagi tujuan kelompok. Penyelenggaraan negara dimiskinkan, yakni hanya menjadi manajemen kepentingan kelompok-kelompok. Politik dagang sapi menjadi bagian manajemen kepentingan kelompok itu, dengan akibat melemahnya kehendak politik dalam hal penegakan hukum.
Masih ada akar masalah yang lain, yaitu nafsu untuk mengejar kepentingan sendiri bahkan dengan mengabaikan kebenaran. Meluasnya praktek korupsi tidak lepas dari upaya memenangkan kepentingan diri dan kelompok. ini mendorong terjadinya pemusatan kekusaan dan lemahnya daya tawar politik berhadapan dengan kepentingan-kepentingan pihak yang menguasai sumber daya keuangan, terutama sektor bisnis. Akibatnya, bukan proses politik bagi kebaikan bersama yang mengelola cita-cita hidup bersama yang berkembang, melainkan kekuatan finansial yang mendikte proses politik. Lembaga pengawas yang diharapkan menjadi penengah dalam perbedaan kepentingan ini justru merupakan bagian dari sistem yang juga korup. Akibatnya, politik pun tidak lagi mandiri. Politik berada dibawah tekanan kpentingan mereka yang menguasai dan mengendalikan operasi-operasi pasar. Etika politik seperti tidak berdaya, dicekik oleh nilai-nilai pasar, kompetisi dan janji keuntungan ekonomi.
Akhirnya, masih dapat disebut akar masalah ini, yaitu dalil tujuan menghalalkan segala cara. Ketika tujuan menghalalkan cara, terjadilah kerancuan besar karena apa yang merupakan ‘cara’ diperlakukan sebagai ‘tujuan’. Dalam logika ini, yang digunakan sebagai ukuran adalah hasil. Intimidasi, kekerasan, politik uang, politik pengerahan massa, terror, cara-cara immoral lainnya dihalalkan karena memberi hasil yang diharapkan. Akibatnya, tidak sedikit pelaku kejahatan politik, provokator dan koruptor menikmati tiadanya sanksi hukum ( impunity ). Lemahnya penegakan hukum mengaburkan pemahaman nilai ‘ baik’ dan ‘buruk’ yang pada gilirannya menumpulkan kesadaran moral dan perasaan bersalah. Kalau hal-hal itu tidak disadari, orang menjadi tidak peka dan menganggap semua itu wajar saja. Kerusakan hidup bersama kita juga disebabkan dan sekaligus menghasilkan penumpulan hati nurani.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsekuensi Pewartaan Yesus

Tugas Perutusan

Keluhuran Martabat Manusia