Tujuan





A.          Latar Belakang
Gereja memberikan perhatian sangat besar kepada pendidikan. Alasannya, antara lain, pendidikan mempunyai makna sangat penting di dalam kehidupan manusia dengan segala seginya, baik keagamaan, kebudayaan, kemasyarakatan, politik, ekonomi. Melalui dan berkat pendidikan, manusia tidak hanya mampu menerima dan meneruskan ilmu pengetahuan dan teknologi dari generasi sebelumnya, tetapi ia juga mampu merekayasa dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang dibutuhkan bagi pengembangan diri di masa depan. Pendidikan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas Gereja untuk mewartakan penyelamatan Allah Bapa kepada semua manusia dan memulihkannya di dalam Kristus. Tugas Gereja itu diterima dari pendiri Ilahinya, Kristus menjelang kepergianNya dari dunia, dengan pesan “Pergilah jadikanlah murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat.28:19-20).
Pada tahun 1988 Kongregasi Suci menerbitkan dokumen yang berjudul “Dimensi Religius Pendidikan di Sekolah Katolik” Demikian judul dokumen Kongregasi Pendidikan Katolik 7 April 1988 yang dimaksudkan sebagai pedoman untuk refleksi dan pembaharuan. Hal ini merupakan tanda, betapa besar penghargaan dan keprihatinannya terhadap dimensi religius sekolah katolik. Dokumen ini diakhiri dengan imbauan: “Kongregasi ini ingin menyarankan agar studi, riset dan percobaan lebih lanjut dilakukan di semua bidang yang menyangkut dimensi religius pendidikan di sekolah-sekolah katolik. Telah banyak dilakukan, tetapi lebih banyak lagi diharapkan oleh banyak orang” (no. 115). Dimensi religius pendidikan atau aspek religius sekolah katolik bagi kita berarti iman katolik. (P. Go, 1992)
Bertolak dari pemahaman konsili tentang ciri khas sekolah katolik, dokumen ini menyimpulkan bahwa yang membedakan sekolah katolik dengan sekolah lain adalah dimensi religiusnya. Gereja mulai menyadari betapa kehidupan menghendaki sebuah keterbukaan akan pluralisme budaya dan agama. pendidikan agama haruslah menjadi medan dialog partisipatif antar lintas agama. Kemajemukan menghantar untuk merefleksikan betapa pendidikan agama yang doktriner tidak menjawab keprihatinan dan fakta sosiai dewasa ini. Konsili Vatikan II mengajarkan cara pandang gereja terhadap agama dan kepercayan iain, dalam usaha mendukung sifat inklusif tersebut, yaitu:
Gaudium et spes, konstitusi pastoral tentang tugas gereja dalam dunia dewasa ini, menyatakan "Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya." (Gaudium et spes art 1)
Pendidikan agama yang bertujuan luhur ternyata dalam kenyataan tidak menghasilkan seperti yang dicita-citakan, bahkan menghasilkan orang yang cenderung berpandangan sempit dan meremehkan orang-orang lain yang tidak seagama/ sealiran. Begitu juga, kaum beragama hidup sehari-harinya tidak diwarnai oieh ajaran agama yang diperolehnya, karena hanya berhenti pada pengetahuan/ wacana.
Suatu kenyataan, bahwa sebagian besar siswa di sekolah-sekolah katolik majemuk agamanya. Kehidupan dewasa ini menghendaki sebuah keterbukaan akan pluralitas budaya dan agama. Pendidikan agama haruslah menjadi medan dialog partisipatif antar lintas agama. Kemajemukan subyek didik, menghantar untuk merefleksikan betapa pendidikan agama yang doktriner tidak lah menjawab keprihatinan dan fakta sosial, akan lebih baik bagi subyek didik mendapat pendidikan kerohanian yang bermanfaat bagi hidup bersama mereka daripada mendapat pengetahuan agama doktriner satu pihak yang kiranya kurang relevan dengan agama mereka masing-masing.
Masyarakat yang terbuka, guyub, damai, penuh cinta-kasih persaudaraan dan dinamis sangat dirindukan oleh setiap orang dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Namun, agama-agama yang diajarkan di masyarakat maupun ejak di sekolah, yang seharusnya menjadi acuan hidup bermoral dan perekat masyarakat yang bhineka, kadang-kadang belum berfungsi sebagaimana mestinya. (Hartono SJ, 2001)
Membangun masyarakat yang rukun, hidup damai, serta dinamis diperlukan paradigma baru dalam menyikapi kemajemukan masyarakat. Perbedaan perlu disikapi bukan sebagai sumber masalah melainkan sebagai peluang pengayaan. Paradigma ini sebaiknya ditanamkan sejak dini, ketika anak-anak sedang tumbuh dalam pengembangan sikap dan mental melalui pendidikan, baik di rumah, masyarakat maupun di sekolah. Dalam ini akan di bahas lebih mendalam di dalam lingkungan sekolah. Pendidikan Religiositas menjadi salah satu alternatif dalam pendidikan iman di sekolah. Model ini menjadi alternative untuk mewujudkan cita-cita di atas, masyarakat yang terbuka, guyub, damai, penuh cinta kasih persaudaraan, dan dinamis. (Mgr. Ignatius Suharyo, 2001)
Dalam Pendidikan Religiositas para siswa dari berbagai agama mendapat kesempatan luas dan bebas untuk mengkomonikasikan pengalaman imannya masing-masing mengenai berbagai peristiwa pengalaman hidup manusiawinya. Melalui Pendidikan Religiositas, siswa di sekolah tidak hanya didampingi untuk mempelajari pengetahuan saja, tetapi juga membentuk paguyuban umat beriman, kehidupan rohani yang dijiwai semangat persaudaraan sehingga diharapkan dapat menjalin kerja sama dalam kehidupan sehari-hari.
“Kita semakin yakin bahwa kita sedang menghadapi kemerosotan moral hampir di semua bidang kehidupan masyarakat yang dapat membahayakan bahkan menghancurkan persatuan, masa depan dan keselamatan bangsa kita” (KWI: Keprihatinan dan Harapan, Surat Gembala Prapaskah 1997, hlm 4)
Kemerosotan moral masih marak di berbagai bidang dan tingkat kehidupan. Dengan rendah hati perlu diakui kemerosotan moral juga masih merebak di lingkungan persekolahan katolik. Pendidikan Agama masih bersifat formal dan liturgis, sehingga menyebabkan kurang menyentuh kehidupan rohani siswa, terbatasnya pembaruan hidup. Kesulitan yang dihadapi juga karena keragaman peserta didik di sekolah Katolik. Semoga penelitian ini lebih menggali dimensi religious yang menegakkan cirri khas sekolah Katolik.
Pendidikan Agama yang berdasarkan pengetahuan saja dirasa kurang relevan dalam waktu ini. Pendidikan Religiositas pada dasarnya merupakan suatu pendidikan untuk menumbuhkembangkan sikap batin siswa agar mampu melihat kebaikan Tuhan dalam diri sendiri, sesama, dan lingkungan hidupnya.
Kebaikan Tuhan dalam diri siswa merupakan anugerah Tuhan yaitu hidup beserta potensi-potensinya guna mengembangkan menjadi manusia yang utuh (religius, bermoral, dan terbuka) diharapkan mampu menjadi pelaku perubahan sosial demi kesejahteraan masyarakat.
Pendidikan nilai ini sedang disebarluaskan dan diusahakan agar sekolah-sekolah katolik memperhatikan dan menjabarkannya dalam kegiatan belajar mengajarnya, dan dalam kehidupan persekolahan sehari-hari. Pendidikan nilai kiranya memang sudah terlaksana dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, tetapi kiranya juga belum secara terpadu dan disadari baik oleh pimpinan sekolah dengan para gurunya, maupun para siswa dan orang tuanya.
Pembentukan nilai/ karakter sangat penting bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian dan rohani siswa di samping pengajaran ilmiah atau akademik yang mereka peroleh melalui pelajaran di bangku sekolah. ( A. Sewaka, SJ, 1988)













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsekuensi Pewartaan Yesus

Tugas Perutusan

Keluhuran Martabat Manusia